Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan satu orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Sekretariat Jenderal. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penyidik telah memulai proses pendalaman kasus dengan memeriksa sejumlah saksi kunci. Di antaranya adalah pejabat pengadaan berinisial CR dan anggota Kelompok Kerja (Pokja) berinisial FI. “Penyidikan terus berjalan. Kami mendalami aliran dana serta bagaimana praktik gratifikasi itu terjadi,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (23/6).
Ia menyebut bahwa kasus ini sepenuhnya berada dalam ranah administratif internal sekretariat. “Ini murni persoalan di lingkungan Setjen, bukan di ranah politik,” katanya.
Ketika MPR yang seharusnya menjadi penjaga moral konstitusi justru diseret dalam pusaran gratifikasi, publik pun mempertanyakan: bagaimana bisa hal ini terjadi di lembaga sekelas MPR?
Baca Juga: Piala Dunia Antarklub 2025
Gratifikasi: Apa dan Mengapa Ini Berbahaya
Gratifikasi bukan sekadar “ucapan terima kasih” dalam bentuk uang atau hadiah. Dalam konteks hukum Indonesia, gratifikasi adalah pemberian yang berkaitan dengan jabatan dan berpotensi memengaruhi keputusan atau kebijakan publik. Kasus di MPR ini menjadi contoh betapa celah gratifikasi masih terbuka lebar dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Rp 17 miliar bukan jumlah kecil. Ia mencerminkan kemungkinan adanya sistem yang tidak transparan dan lemahnya kontrol internal.
Komisi Pemberantasan Lebih dari Sekadar Tersangka
Penetapan satu tersangka tentu menjadi langkah awal. Namun publik bertanya: siapa saja yang turut menikmati aliran dana haram ini? Apakah ada aktor lain di balik layar? Dari mana asal dana tersebut, dan apa imbalannya?
Rencana KPK memanggil sejumlah saksi menjadi harapan tersendiri. Tapi itu belum cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah pengungkapan menyeluruh, termasuk kemungkinan adanya kerjasama sistemik antara vendor dan pejabat internal. Transparansi proses hukum dan publikasi hasil penyelidikan menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan.
Belajar dari Kasus Ini
Kasus ini seharusnya menjadi titik balik bagi sistem pengawasan di lembaga negara. KPK tidak bisa bekerja sendiri. Reformasi birokrasi, digitalisasi pengadaan, dan pendidikan integritas harus digencarkan. Tanpa itu, kasus serupa hanya menunggu waktu untuk kembali terjadi.