1: Pejabat Harus Tahan Dihujat
Tanggerang Informasi Pejabat Harus Menjadi pejabat publik bukan hanya soal jabatan dan fasilitas. Itu adalah tanggung jawab besar yang datang dengan konsekuensi: siap dihujat, dikritik, bahkan dibenci. Di era digital, kesalahan kecil bisa jadi viral, dan publik tidak segan memberikan penilaian keras lewat komentar atau hashtag.
Pejabat harus paham bahwa mereka berada di bawah sorotan publik setiap saat. Bila tak tahan tekanan, maka jangan pernah coba-coba masuk ke ranah kekuasaan publik. Jabatan bukan panggung pujian, tapi ruang pengabdian.
2: Netizen Adalah Pengawas Baru Pejabat Publik
Dunia digital telah mengubah peta pengawasan kekuasaan. Warganet kini menjadi “lembaga pengawas informal” yang tak mengenal waktu kerja. Pejabat publik dituntut bekerja cepat, tepat, dan transparan, karena kesalahan sekecil apa pun bisa langsung viral.
Jabatan bukan lagi sekadar formalitas, tapi juga uji mental. Siap dihujat adalah syarat moral baru yang tak tertulis, tapi nyata dirasakan oleh setiap pemegang kekuasaan. Yang tidak tahan kritik sebaiknya mundur sebelum diterpa badai media sosial.
Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Banten Kirim Memo SPMB Ke SMA Negeri Cilegon
3: Jabatan Adalah Amanah, Bukan Tempat Cari Nama
Kekuasaan adalah mandat rakyat, bukan kesempatan menumpuk pujian. Sebaliknya, pejabat sejati menyerap kritik sebagai masukan untuk perbaikan diri.
4: Pejabat Harus Hati-hati Jadi Pejabat di Era Keterbukaan
Era keterbukaan informasi mengharuskan pejabat publik berhati-hati dalam bertindak dan berbicara. Transparansi dan akuntabilitas kini menjadi nilai utama dalam birokrasi modern. Salah langkah sedikit, rakyat bisa langsung menilai dan menyuarakan kritik secara terbuka.
Maka dari itu, menjadi harus siap dengan segala risiko sosialnya. Karena di era ini, kamera dan media sosial lebih tajam dari lensa wartawan.
5: Bukan Bos, Tapi Petugas Rakyat
Banyak lupa bahwa mereka bukan raja, bukan pemilik kekuasaan. Mereka hanya pelayan rakyat. Setiap rupiah yang mereka gunakan berasal dari pajak masyarakat. Setiap fasilitas yang mereka nikmati adalah milik publik.
Menerima kritik adalah bagian dari kerja mereka. Tapi kalau jadi , harus siap jadi sasaran.
6: Kritik Adalah Vitamin, Bukan Racun Bagi
Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi membangun. publik yang bijak harus memandang hujatan dan kritik sebagai “vitamin pahit” yang memperkuat sistem imun moral dan integritasnya.
Justru ketika tak ada kritik, itu pertanda bahaya. Masyarakat mungkin sudah kehilangan harapan. Jadi ketika kritik masih datang, artinya rakyat masih peduli.
7: Wajib Melek Digital dan Peka Publik
Era digital menuntut bukan hanya mampu bekerja di balik meja, tetapi juga aktif berkomunikasi dengan publik secara langsung lewat media sosial. Digital marketing bukan milik dunia usaha semata — juga perlu tahu cara mengemas pesan-pesan program kerja secara jujur, sederhana, dan menjangkau rakyat.
Tapi hati-hati: jangan terpeleset jadi pencitraan murahan. Rakyat lebih bisa membaca ketulusan ketimbang tampilan editan.